Artikel

KEPRIBADIAN DAN NILAI

Oleh : Fitriyati, S.Psi, M.Si

  1. Human Values

Nilai atau ’value’ (Bhs. Inggris) termasuk pengertian filsafat. Pesoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat sendiri sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya ’keberhargaan’ (worth) atau ‘kebaikan’ (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian. (Frankena, 229). Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, indah atau tidak indah suatu benda atau perbuatan tertentu. Keputusan nilai yang dilakukan oleh subyek penilai tentu berhubungan dengan unsur-unsur yang ada pada manusia sebagai subyek penilai, yaitu unsur-unsur jasmani, akal, rasa, karsa (kehendak) dan kepercayaan. Sesuatu itu dikatakan bernilai apabila sesuatu itu berharga, berguna, benar, indah dan lain sebagainya.

Coleman et. al. (1987),mengatakan  nilai adalah pertimbangan internal dan eksternal, yang dimiliki seseorang tentang sesuatu barang, tujuan, dan perbuatan, yang dipertimbangankan diinginkan atau tidak diinginkannya. Dalam rumusan yang lebih singkat dan jelas Superka et. al. (1976) mendefinisikan bahwa nilai adalah kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan, harga atau keindahan. McKinney dan Moore (1982) sikap dan nilai merupakan konstruk hipotetik, dan menjadi dorongan, bimbingan internal bagi terwujudnya perilaku seseorang. Perbedaan antara keduanya: nilai lebih bersifat global dari pada sikap, menjadi sasaran yang lebih abstrak yang ingin dicapai, dan mendasari pandangan hidup seseorang. Oleh karena itu, nilai menjadi kriteria atau ukuran yang bersifat abstrak dalam membuat pertimbangan dan mengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan peranan itu, Chaiken dan Stangor (1987) menyebut nilai sebagai kepercayaan normatif tentang apa yang disukai dan tidak disukai. Dengan demikian, nilai mempengaruhi pembentukan dan arah sikap seseorang. Sikap juga dipandang sebagai pernyataan nilai yang dimiliki oleh seseorang. Selanjutnya menurut beliau, nilai dapat mempengaruhi pula perilaku atau perbuatan seseorang dengan mempengaruhi sikap dan penilaian terhadap konsekuensi daripada perilaku atau perbuatan tersebut. Melalui proses seperti itu, Fraenkel (1977) melihat nilai sebagai kunci bagi lahirnya perilaku dan perbuatan seseorang.

Menurut pandangan psikolog, nilai diartikan sebagai upaya penguatan keyakinan terhadap kebenaran, kebaikan, dan keindahan perilaku seseorang. Gordon Allport dalam Mulyana (1989, 29) mendefinisikan nilai sebagai keyakinan yang membuat individu bertindak atas dasar pilihannya. Adapun pilihan di sini disesuaikan dengan tuntutan norma yang berlaku dalam masyarakat dan agama. Shaver dan Strong (dalam Mulyana, 1989: 46) mendefinisikan nilai sebagai pedoman atau prinsip yang merupakan kriteria untuk menimbang suatu permasalahan. Nilai adalah keyakinan yang dapat dijadikan pedoman atau prinsip dalam menjalani kehidupan. Nilai bersifat mendasar, berakar lebih dalam dan stabil sebagai bagian dari kepribadian yang dapat mewarnai kepribadian kelompok (Azwar, 1985: 9)

Pembahasan teori nilai ini bukanlah membahas tentang nilai kebenaran walaupun kebenaran itu adalah nilai juga. Sesuatu mempunyai nilai karena hal tersebut mempunyai harga atau sesuatu itu mempunyai harga karena ia mempunyai nilai. Oleh karena itu nilai sesuatu yang sama belum tentu mempunyai harga yang sama pula karena penilaian seseorang terhadap sesuatu yang sama itu biasanya berlainan. Bahkan ada orang yang tidak memberikan nilai terhadap sesuatu itu karena sesuatu hal tidak berharga baginya tetapi mungkin bagi orang lain malah mempunyai nilai yang sangat tinggi karena itu sangatlah berharga baginya.Perbedaan antara nilai sesuatu itu disebabkan sifat nilai itu sendiri. Nilai bersifat ide atau abstrak (tidak nyata). Nilai bukanlah suatu fakta yang dapat ditangkap oleh indra. Tingkah laku perbuatan manusia atau sesuatu yang mempunyai nilai itulah yang dapat ditangkap oleh indra karena ia bukan fakta yang nyata. Persoalan nilai adalah persoalan penghayatan, perasaan, dan kepuasan. Persoalan nilai bukanlah membahas kebenaran dan kesalahan (benar dan salah) akan tetapi masalahnya ialah soal baik dan buruk, senang atau tidak senang. Nilai merupakan dasar keyakinan yang relatif menetap bahwa modus tertentu perilaku atau keadaan-akhir sebuah eksistensi adalah lebih disukai secara pribadi atau sosial dan merupakan perlawanan atau kebalikan dari perilaku atau keadaan-akhir eksistensi yang melibatkan nilai-nilai penghakiman. Nilai mewakili ide-ide individu tentang hal yang benar, baik, atau diinginkan. Semua orang memiliki hirarki nilai-nilai yang membentuk sistem nilai. Sistem ini diidentifikasi oleh kepentingan relatif yang ditetapkan, misalnya nilai-nilai kebebasan seperti, kesenangan, hormat diri, kejujuran, ketaatan dan kesetaraan. Susunan hirarkhis ini masing-masing orang tidak sama. Ada orang yang mendahulukan kesopanan daripada kecerdasan, sementara orang lain menganggap keterbukaan lebih penting daripada kesopanan. Nilai lebih spesifik dibandingkan kepribadian dan lebih dekat menggambarkan sistem keyakinan daripada kecenderungan berperilaku. Sistem keyakinan dan nilai tidak banyak menjelaskan tentang kepribadian seseorang dan orang tidak selalu bertindak konsisten dengan nilai-nilai yang dimiliki.

Schawrtz dan Bilsky (1987, 1990) mengemukakan definisi konseptual nilai yang terdiri atas lima karakteristik : 1. nilai adalah konsep atau keyakinan, (2) berhubungan dengan perilaku (instrumental)  atau kondisi tujuan akhir (end-state/terminal) yang diinginkan , (3) melampaui (transcend) situasi yang spesifik, (4) panduan seleksi atau evaluasi terhadap perilaku dan peristiwa, dan (5) tersusun dalam urutan kepentingan yang relatif. Selaras dengan tipe-tipe nilai yang dikemukakan Milton Rokeach (1973) dari hasil penelitiannya yang menghasilkan RVS (Rokeach Value Survey) ada dua yaitu terminal value (nilai yang terkait kondisi akhir yang diharapkan) dan instrumental value.(atau nilai antara, yaitu nilai yang terkait dengan serangkaian perilaku yang diyakini sebagai cara mencapai terminal value). Sebagai contoh manusia yang memiliki nilai instrumental hidup bersih, dia memiliki nilai akhir secara konsisten yakni nilai keindahan dan kesehatan.Nilai, jika dipahami dengan cara ini, berbeda dari sikap terutama dalam hal keumuman atau keabstrakan dan dalam susunan hirarkis berdasarkan kepentingan (Bem,1970, dan Rokeach, 1973).

Ada dua atribut nilai, atribut konten, yaitu modus tindakan dan keadaan keberadaan akhir, misalnya nilai-nilai keadilan, dan atribut intensitas, yaitu kekuatan suatu nilai dalam hierarkhi sistem nilai seseorang. Schwartz dan Bilsky (1987, 1990) mengusulkan bahwa aspek utama dalam konten nilai adalah jenis tujuan atau motivasi yang terekspresikan. Tipologi jenis tujuan atau motivasi dibalik konten suatu nilai tersebut berlaku universal, ditemukan melalui penelitian dari berbagai konten yang berbeda dengan penalaran bahwa nilai-nilai tersebut mewakili (dalam bentuk tujuan sadar) tiga persyaratan universal eksistensi manusia yang menuntut semua individu dan masyarakat responsif yaitu: a)kebutuhan individu sebagai  organisme biologis, b)syarat interaksi sosial yang terkoordinasi, dan c)kelangsungan hidup dan kesejahteraan kebutuhan kelompok. Dari sudut pandang evolusi (Buss, 1986), tujuan-tujuan tersebut mempunyai signifikansi pada penting kelangsungan hidup

Menurut Spranger gejala kejiwaan baru dapat dipahami dan berarti bila gejala jiwa tersebut merupakan faktor dari totalitas nilai. Verstehen harus ikut mengalami, bersimpati kepada, memihak kepada, atau mengidentifikasi diri dengan seseorang atau sesuatu, namun sesuai sikap yang berdiri di atasnya

. Manusia menerima kebudayaan yang telah ada dan mengembangkan kebudayaan itu dengan penciptaan-penciptaan baru. Jadi manusia sebagai wadah  kecenderungan individual dalam hubunganya dengan kebudayaan tempat dia ada. Kebudayaan oleh Spranger dipandang sebagai sistem nilai-nilai, karena kebudayaan itu tidak lain adalah kumpulan nilai-nilai kebudayaan yang tersusun atau diatur menurut struktur tertentu. Kebudayaan sebagai sistem atau struktur nilai-nilai ini oleh Spranger digolongkan menjadi enam lapangan nilai

1. Ekonomi

2. Politik

3. Social

4. Ilmu pengetahuan

5. agama

6. seni

Salah satu alasan mengapa konseling dan psikoterapi telah menjadi begitu mapan adalah karena orang sering bingung dan ingin tahu yang “benar” cara untuk hidup. Pendapat ini telah didukung oleh Strupp, yang berpendapat bahwa banyak orang pergi ke konselor untuk tujuan menemukan makna dalam hidup mereka, untuk aktualisasi diri sendiri atau untuk memaksimalkan mereka potensial (McLeod, 1998). Dalam hal ini, Brammer, Abrego, dan Shostrom (1993) berpendapat bahwa keyakinan dan pikiran sangat erat terkait dengan nilai-nilai. Depresi telah ditemukan oleh banyak peneliti disebabkan terutama oleh keyakinan dan pikiran irasional (Rowe, 1996). Depresi itu terkait erat dengan nilai-nilai. Menurut Zain dan Varma (1996), orang yang tidak berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan dapat menjadi lemah, dan cenderung menderita penyakit mental seperti depresi, kecemasan, dan rendah diri. Hal ini telah didukung oleh Propst (1996), yang menyatakan bahwa orang yang menderita depresi biasanya mereka yang tidak memiliki iman yang kuat dalam Tuhan. Karena nilai-nilai memiliki seperti peran penting dalam terapi perilaku kognitif, terutama yang berkaitan dengan depresi, itu adalah diperlukan untuk menyelidiki dampak nilai pada terapi perilaku kognitif.

  1. Religious Values

Pada umumnya orang sepakat bahwa keyakinan agama seseorang dan perilaku merupakan bagian dari realitas psikologis individu’ (Spilka, Hood, & Gorsuch, 1985, h. 2) dan ‘pusat tema identitas mereka “(Ozer & Benet-Martinez, 2006, hal 401). Pencarian ‘spiritual ‘Ketuhanan’ sebagaimana disebutkan Pargament dan Mahoney (2002, hal 648) telah diidentifikasi merupakan bagian integral dari sistem motivasi seseorang (Emmons, 2005, hal 731).Agama menyediakan kerangka kerja untuk menetapkan tujuan pribadi dan menyarankan cara-cara yang disukai mencapai maksud tertentu (Park, 2005). Silberman (2005, hal 645) menyatakan agama adalah system makna yang memiliki kemampuan untuk berfungsi sebagai lensa untuk melalui realitas yang dirasakan dan ditafsirkan ‘ yang mampu mempengaruhi tujuan, emosi dan perilaku seseorang. Agama memiliki potensi untuk memberikan makna bagi kehidupan individu tidak hanya karena motivasi dan fungsi memberdayakan (Emmons, 2005), tetapi juga karena sistem makna spiritual sangat berbeda dari sistem makna lain (Silberman, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gafur (2003). “Penerapan Konsep dan Prinsip Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) dan Disain Pesan dalam Pengembangan Pembelajaran dan Bahan Ajar”. Cakrawala Pendidikan, 0216-1370.

Arnie Fajar (2004).Portofolio dalam Pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosda Karya. Barth,

James L, Methods of Instruction in Social Studies Education, University Press of America, New York.

Darmiyati Zuchdi.(2008). ”Humanisasi Pendidikan” Makalah. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta

James A Beane, Dkk, (1986), Curriculum Planning and Development, Allyn and Bacon inc., Toronto.

Jarolimek, John, (1982), Social Studies in Elementary Education, Mav Millan, London

Kartawisastra, H.U.(1980). Strategi Klasifikasi Nilai. Jakarta: P3G. Depdikbud.

Krattwohl, DavidR, Bloom, BenjaminS., & Masia, Betram B., (Eds). (1964). Taxonomi of Educational Objectives Handbook II. Affective Domain. London: Longman Group

Mawardi Lubis. (2008). Evaluasi Pendidikan Nilai. Yogyakarta; Pustaka Pelajar

Martorella, Peret H. (1994), Social Studies for Elementary School Children, Mac Millan, New York

M. Numan Somantri, (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan  Rosda,Bandung

Noeng Muhadjir, 200, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Rake Sarasin,Yogyakarta

S. Nasution, (2003), Asas-Asas Kurikulum, Bumi Aksara, Jakart Mahood, Wayne, et.al., (1991), Teaching Social Studies in Middle and Senior High

Schools, Macmillan, Toronto.

Rohmat Mulyana. (2004) Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Saidihardjo, “Jatidiri Sumber Daya Manusia dan Tantangan PIPS pada Era Globalisasi”

makalah Seminar FORKOM VIII Pimpinan FPIPS/JPIPS se-Indonesia, Jakarta

11-12 November 1997

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tinggalkan komentar